Home » » Tanah Koti

Tanah Koti


STATUS PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN TANAH TIMBUL (TANAH KOTI’’)
(Studi Kasus Masyarakat Sekitar Danau Tempe)

Andi Santri Syamsuri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Abstrak
Agraria terdiri atas dua aspek, yaitu aspek penguasaan atau pemilikan dan aspek pemanfaatan atau penggunaan. Sedangkan kategori status tanah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok utama merupakan bidang tanah yang sudah ada atau sudah dilekati hak dan bidang-bidang tanah yang belum ada haknya. Danau Tempe di Kabupaten Wajo, mengalami  pendangkalan akibat sedimentasi. Hal ini berdasarkan hasil penelitian JICA dalam Bappedal menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi sedimentasi berkisar 15–20 cm dan cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan kesimpulan laporan Bapedal Regional III menyatakan bahwa apabila laju sedimentasi terus meningkat setiap tahunnya diperkirakan 100–200 tahun kemudian Danau Tempe akan menjadi suatu daerah dataran. Namun tanah ini di manfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian, sehingga itu perlu pengaturan tentang penguasaan dan pemanfaatan tanah yang berpeluang menimbulkan polemik di dalam masyarakat. Jenis penelitian yang ini merupakan pengkajian hukum secara empirik di Danau Tempe. Jenis data yang dikumpulkan terdiri data primer dan sekunder. Data Primer yang diperoleh dari observasi dan wawancara secara langsung teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive sampling. Bentuk pengelolaan tanah timbul atau dengan sebutan tanah koti’ oleh masyarakat di kawasan Danau Tempe dengan cara pemanfaatan lahan yang dilakukan secara turun temurun dengan cara mengundi sehingga dinamakan dengan tanah koti’’. Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan pengelolaan tanah koti’ di sekitar kawasan Danau Tempe. Upaya yang dilakukan oleh pejabat yaitu melakukan sosialisasi kepada warga bahwa tanah koti’ merupakan tanah milik negara dan dilarang untuk mengubah status tanah tersebut menjadi hak milik.
Kata kunci : Penguasaan, Pemanfaatan, Tanah Koti’’, Danau Tempe,

PENDAHULUAN

Agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek penguasaan atau pemilikan dan aspek pemanfaatan atau penggunaan. Hal ini diatur di dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001 Pasal dua (2), yang menyebutkan bahwa “pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan  dengan penataan kembali penguasaan , pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek penguasaan/pemilikan berbeda dengan aspek pemanfaatan atau penggunaan. Aspek penguasaan atau pemilikan berhubungan dengan relasi hukum manusia dengan tanah sedangkan aspek pemanfaatan atau penggunaan menyangkut bagaimana tanah sebagai sumber daya digunakan atau dimanfaatkan.
Kategori status tanah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok utama merupakan bidang tanah yang sudah ada atau sudah dilekati hak dan bidang-bidang tanah yang belum ada haknya. Hak dimaksud secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, yang diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Kedua, yang diatur berdasar ketentuan peraturan perundangan sektoral  (Kehutanan, Pertambangan, Perda dan lain-lainnya). Ketiga, yang diatur oleh masyarakat secara lokal.
Pengaturan oleh masyarakat secara lokal tersebut meliputi: a) bidang-bidang tanah yang diatur oleh masyarakat hukum adat atau ulayat, b) bidang-bidang tanah yang diatur berdasarkan ketentuan kesultanan atau Pakualaman, c) bidang-bidang tanah yang pengaturannya berdasarkan norma hukum yang ada di masyarakat lokal atau setempat. Sedangkan bidang tanah yang belum pernah dilekati hak atau tanah timbul (oloran, pantai, gosong atau endapan sungai dan sebagainya) pulau kecil, bantaran sungai dan sebagainya (1).
Danau Tempe merupakan sebuah danau yang terletak di Kabupaten Wajo, mengalami  pendangkalan akibat sedimentasi. Hal ini berdasarkan hasil penelitian JICA dalam Bappedal (2000) menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi sedimentasi berkisar 15–20 cm dan cenderung meningkat setiap tahun. Dan berdasarkan kesimpulan Laporan BAPEDAL Regional III (2000) menyatakan bahwa apabila laju sedimentasi terus meningkat setiap tahunnya diperkirakan 100 – 200 tahun kemudian Danau Tempe akan menjadi suatu daerah dataran. Hal ini juga disebabkan oleh faktor alami karena Danau Tempe terbentuk dari proses geologis dan merupakan danau tektonik yang akan tertimbun secara alami (2).
Tanah pendangkalan akibat sedimentasi tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah timbul. Dimana tanah tersebut berarti belum memiliki hak atas penguasan dan pemanfaatannya. Namun tanah ini di manfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian, oleh karena itu pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Wajo perlu mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah yang berpeluang menimbulkan polemik di dalam masyarakat.

Pengertian Tanah, Pengelolaan dan Pemanfaatannya

Tanah secara umum didefinisikan sebagai luasan fisik dari permukaan bumi yang ada luasan tertentu dalam sebuah area tertentu, dimana kepemilikan atas tanah tersebut dibuktikan dengan sebuah dokumen yang disebut “title deet”. Selanjutnya, dikatakan bahwa jarang ada sebuah dokumen kepemilikan tanah yang menggambarkan luasan diatas atau di bawah permukaan tanah dari kepemilikan tersebut. Akan tetapi, dalam pengertian hukum tidaklah demikian. Sebagaimana diuraikan bahwa dalam hukum, tanah adalah tidak terbatas sekadar permukaan bumi, tetapi termasuk dibawah dan di atas permukaan bumi, tidak juga dibatasi sesuatu yang padat, tetapi dapat meliputi benda cair dan gas (4).
 Penguasaan bersifat faktual, yaitu mementingkan kenyataan pada suatu saat. Penguasaan juga bersifat sementara samapi nanti ada kepastian hubungan antara orang yang menguasai tanah dengan tanah yang menjadi sasaran penguasaannya (5). Pemanfaatan tanah merupakan suatu proses untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari pengelolaan tanah. Pemanfaatan tanah tersebut bertujuan untuk meningkatkan  kesejahteraan hidup masyarakat.

Sejarah Tanah Timbul Atau Tanah Koti’ di Kawasan Danau Tempe

Tanah timbul yang berada di kawasan Danau Tempe dikenal dengan sebutan Tanah Koti’. Tanah timbul diberikan nama tanah koti’ karena dulunya cara pembagian pemanfaatan tanah tersebut dengan melottre atau undian dengan sebelumnya memberikan nomor setiap lahan dan masyarakat dipersilahkan untuk mengambil nomor dengan cara “koti’” (mengambil dalam sebuah wadah lotre). Mulai saat itulah disebut tanah timbul sebagai tanah koti’ , namun tanah koti’ ini memiliki tingkatan yang disebut dengan tanah Langga satu, tanah langga dua, tanah langga tiga dan seterusnya. Tanah langga satu yaitu tanah yang berada lebih tinggi dari tanha langga dua dan tigas yang jauh dari air danau, tanah langga tiga diperuntukkan kepada bangsawan atau orang yeng memiliki peran kepada masyarakat. Pembagian tanah ini sudah ada sejak dari dulu yang turun temurun diwariskan kepada keluarganya. Ada perbedaan tanah setiap langganya (tingkatnya), selain tanahnya jauh dari daerah air danau tanah langga satu juga lebih subur daripada tanah yang berada dilangga dua dan tiga.  Peruntukan tanah ini memang dikelola oleh masyarakat sekitar danau yang tujuannya untuk kemakmuran rakyat.
Tanah koti’ berasal dari dua kata yaitu tanah dan koti’, tanah diartikan sebagai tanah dan koti’’dalam bahasa bugis artinya diundi. Jadi tanah koti’ yaitu tanah yang dikelola oleh masyarakat dengan cara diundi. Di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wajo No. 5 Tahun 2000 Tetntang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Tanah Telleng/ Tanah Koti’ ialah daerah danau/ pinggiran danau yang tetap bila musim penghujan (air naik) digenangi air sedang di musim kemarau kering dan tanahnya ditanami dengan palawija (disebut juga tanah mati atau tanah tonrong). Tanah ini ada sejak zaman kerajaan di Wajo, dimana masyarakat yang berada di kawasan tanah kerajaan yang tidak dimanfaatkan itu kemudian dikelola dengan izin dari raja. Yang termasuk Tanah koti’’ yakni lahan yang tidak dilekati hak seperti rawa-rawa, pinggiran sungai dan danau yang diberikan hak pengelolaan untuk dimanfaatkan. Sejarah Tanah koti’ di danau tempe awalnya adalah tanah “tawa sure’” artinya tanah yang diberikan izin pengelolaan oleh raja untuk rakyat yang bertempat tinggal di kawasan danau tempe dengan mendaftarkan diri sebagai penduduk asli kawasan tersebut. pembagian ini didasarkan pada faktor pendapatan masyarakat yang rendah di kawasan danau tempe pada musim kemarau.
Tanah sure’ ini dikelola secara turun temurun oleh masyarakat tanpa ada retribusi yang dikenakan saat itu. Namun sekitar tahun 1960-an, tanah ini mulai dilakukan perubahan oleh pemerintah yang aat itu sudah tidak lagi menjalankan sistem kerajaan. Perubahan pengelolaan ini dilakukan dengan cara makkoti’’ atau dalam bahasa indonesia adalah diundi. Sistem pengundiannya dengan cara sebelum diundi, lahan yang berada dikawasan danau di bagi perpetaknya dan tingkatannya. Luas kira kira perpetak 8-10 meter persegi setiap kepala keluarga. Perubahan ini dilakukan karena semakin bertambahnya penduduk di kawasan danau tersebut. adapun masa pengelolaannya hanya sampai 2 tahun dan kemudian diundi kembali secara acak. Tujuan dari pengundian ini adalah agar semua masyarakat kawasan danau dapat memanfaatkan dan mengelola lahan pertanian yang ada. Adapun lahan menurut tingkatannya yaitu Langga I (tingkatan pertama) berada di daerah yang tidak rawan tenggelam, artinya berada di daerah dataran tinggi yaitu pinggir sungai. Langga II dan III berada di bawah langga I yang daerah datarannya lebih rendah dari langga I, sampai seterusnya yang rawan tenggelam dimusim banjir.
Tanah sure’ ini tidak semua adalah tanah koti’. Tanah tawa sure’ terbagi tiga yaitu:
1.       Tanah adat yang dihibahkan atau yang dihadiahkan oleh raja kepada pejabatnya atau rakyatnya yang kemudian penguasaannya turun temurun
2.      Tanah koti’ yang tujuannya untuk mensejahterakan rakyatnya namun hanya memiliki hak pemanfaatan saja.
3.      Tanah penukaran, yaitu tanah yang ditukarkan kepada masyarakat karena tanahnya diambil oleh pemerintah untuk kepentingan umum.
Setelah tahun 1970an, tanah tersebut ada yang telah didaftarkan seperti tanah hibah dan tanah penukaran. Namun ada pula tanah koti’ yang kemudian didaftarkan di kantor pajak untuk pembayaran.

Bentuk Pengelolan Masyarakat Terhadap Tanah Timbul Di Danau Tempe

Luas kawasan danau tempe sekitar 48.000 hektar, namun disaat musim kering luas danau tempe hanya sekitar 3.000 hektar. Jadi ada sekitar 45.000 hektar yang dijadikan lahan pertanian. Kawasan danau tempe ini masuk dalam 4 kecamatan di Kabupaten Wajo, yakni Kecamatan Belawa, Tanasitolo, Tempe dan Sabbangparu. Kawasan danau juga tidak hanya di dalam wilayah Kabupaten wajo, tetapi juga dalam kawasan kabupaten Soppeng dan Sidrap. Tanah Koti’ atau tanah timbul yang berada di Kawasan Danau dibagi berdasarkan undian. Undian dilakukan dengan cara memasukkan lokasi lokasi tanah di dalam sebuah wadah kemudian warga masyarakat melottre atau  undian. Luas tanah yang dikelola per orang sekitar 5-10 meter per orang dan pembagiannya tidak tetap untuk setiap kelurahan di Kawasan Danau Tempe. Lahan dibagi menyesuaikan antara jumlah penduduk setempat dengan jumlah tanah yang ada.
Adapun retribusi yang dipungut oleh pemerintah terhadap tanah koti’ sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Wajo No. 5 Tahun 2000 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Pasal 8 Ayat (3) huruf d. Yaitu, retribusi tanah koti’ sebesar: Langga I sebesar Rp. 60.000,-/Ha/ musim tanam Langga II sebesar Rp, 30.000,-/Ha/musim tanam, Langga III sebesar Rp. 20.000,-/Ha/musim tanam, Langga IV sebesar Rp. 15.000,-/Ha/Musim Tanam. Tanah koti’ sangat potensial untuk dikelola karena tanahnya sangat subur mengandung banyak humus dan sedimentasi selain itu dapat menghasilkan 80 Ton Kedelai setiap musim tanamnya.
Setiap kelurahan atau desa memiliki ketua tani atau macoa tani yang berfungsi untuk mengawasi pengeloalaan tanah koti’. Pada masa kerajaan masyarakat tidak membayar retribusi atau hasil bumi kepada raja. Akan tetapi, pada masa pemerintahan masyarakat membayar izin pengelolaan tanah kawasan danau. Sampai pada lahirnya perda, masyarakat membayar retribusi yang di atur dalam Perda no. 5 tahun 2000 tentang retribusi pemakaian kekayaan daerah.
Adapun untuk sistem pembayarannya, masyarakat membayar retribusi melalui pegawai Dinas Pendapatan Daerah Kab. Wajo (Dispenda)  yang diberikan tugas untuk menagih para pemegang hak pengelolaan. Penagihan dilakukan dengan cara mendatangi rumah-rumah masyarakat pengelola tanah koti’. Batas pembayarannya pun dilihat dari kontrak sesuai perda. Lama pengelolaan tanah koti’ selama 2 tahun, namun retribusi dibayar setiap setelah musim tanam.

Masalah Pengelolaan Tanah Timbul/ Tanah Koti’ di Kawasan Danau Tempe Kabupaten Wajo

Adapun masalah-masalah dalam pengelolaan tanah koti’ berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak terkait yaitu, belum ada dasar hukum atau pengaturan yang jelas dari pemerintah mengenai tanah koti’ antara lain belum ada pengaturan mengenai seperti apa objek tanah koti’, batas-batas tanah koti’ atau peta tanah koti’, serta siapa masyarakat yang berhak mengelola tanah koti’. Pemerintah belum mengatur tanah koti’ ini secara jelas, apakah tanah koti’ ini merupakan tanah yang sudah menjadi aset daerah, atau dapat diusahakan menjadi hak milik perseorangan.
Permasalahan lain yang timbul yaitu, adanya masyarakat yang mengubah status penguasaan tanah koti’ dari tanah negara menjadi hak milik dengan cara mengurus sertifikat hak milik sehingga banyak masyarakat yang tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah koti’ merasakan ketidakadilan, selain itu masalah lain yang timbul yaitu, banyaknya patok dari tanah koti’ yang bergeser dari batas yang ditentukan sehingga batas tanahnya tidak sesuai lagi dengan batas tanah setelah pembagian atau pengundian tanah koti’.

Upaya Pemerintah Mengatasi Masalah Tanah Timbul/ tanah koti’ di Kawasan Danau Tempe Kabupaten Wajo

Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo melalui pejabat setempat di sekitar danau telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan pengelolaan tanah koti’ di sekitar kawasan Danau Tempe. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pejabat tersebut yaitu, mengadakan sosialisasi kepada warga bahwa tanah koti’ di kawasan danau merupakan tanah milik negara dan dilarang untuk mengubah status tanah tersebut menjadi hak milik. Bupati telah mengeluarkan surat edaran kepada masyarakat bahwa tanah koti’ tidak lagi bisa diusahakan menjadi tanah hak milik. Sehingga sejak saat surat edaran dikeluarkan, masyarakat tidak lagi bisa mengusahakan tanah koti’ tersebut menjadi tanah hak milik.
Usaha tersebut berhasil meyakinkan masyarakat, namun nyatanya masyarakat tidak mau melepaskan diri untuk tetap mengelolah lahan tersebut, meskipun musim banjir datang lahan tersebut tetap dipagari atau ditandai dengan tujuan bahwa kawasan ini adalah kawasan pemegang hak pengelolaan.

Dari rangkaian kegiatan penelitian yang telah dilakukan, Penulis menawarkan solusi yaitu, Pemerintah Daerah Kab Wajo diharapkan untuk segera mengatur secara jelas dan khusus mengenai tanah timbul atau tanah koti’ secara menyeluruh di dalam suatu peraturan dalam bentuk peraturan daerah secara tersendiri karena hingga saat ini pengelolaan tanah koti’ belum diatur secara jelas di dalam peraturan daerah, hal yang diatur hanya jumlah retribusi yang harus dibayar oleh pengelola per Ha setiap musim tanam, adapun mengenai bentuk objek tanah koti’, batas-batas, serta masyarakat yang berhak mengelola tanah tersebut belum diatur secara jelas. Hal ini di maksudkan agar pengelolaan tanah koti’ sebagai aset daerah dapat dikelola dengan baik tanpa adanya konflik di dalam masyarakat.
Selain itu, pemerintah daerah diharapkan melakukan pendekatan secara persuasif kepada masyarakat melalui peraturan daerah yang telah dibuat untuk disosialisasikan kepada masyarakat secara maksimal agar tidak terjadi perbedaan persepsi di dalam masyarakat mengenai status penguasaan tanah koti’. Sehingga polemik yang terjadi di dalam masyarakat dapat segera di atasi.
Adapun langkah yang sangat penting untuk segera dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu, mengembalikan status tanah timbul atau tanah koti’ ke bentuk semula menjadi aset daerah, dengan melakukan pembayaran kepada masyarakat yang telah memiliki sertifikat agar tanah tersebut kembali ke status awal menjadi tanah koti’. Sehingga kegiatan makkoti’ dapat dilakukan kembali oleh masyarakat tanpa adanya kecemburuan sosial antara pengelola tanah koti’ yang memiliki sertifikat dan yang tidak memiliki sertifikat.
Akhir tuisan ini penulis menyimpulkan bahwa bentuk pengelolaan tanah timbul atau dengan sebutan tanah koti’ oleh masyarakat di kawasan Danau Tempe dengan pemanfaatan lahan yang dilakukan secara turun temurun dangan cara pelotrean atau mengundi sehingga namanyapun disebut dengan tanah koti’’. Pengelolaan ini sejak dulu dilakukan secara bergantian dengan batas waktu yang telah ditetapkan, lahannya pun berbeda-beda dengan pengelola yang memiliki status sosial yang berbeda pula. Namun sekarang lahan tersebut tidak lagi di undi melainkan sudah ditetapkan pemegang hak pengelolaannya yang setiap musimnya ditagih dengan pembayaran retribusi. Banyak pula lahan yang dulunya tanah koti’ berubah status menjadi tanah hak milik yang sebelumnya hanyalah tanah hak pengelolaan.
Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo melalui pejabat setempat di sekitar danau telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan pengelolaan tanah koti’ di sekitar kawasan Danau Tempe. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pejabat tersebut yaitu, mengadakan sosialisasi kepada warga bahwa tanah koti’ di kawasan danau merupakan tanah milik negara dan dilarang untuk mengubah status tanah tersebut menjadi hak milik. Bupati telah mengeluarkan surat edaran kepada masyarakat bahwa tanah koti’ tidak lagi bisa diusahakan menjadi tanah hak milik. Sehingga sejak saat surat edaran dikeluarkan, masyarakat tidak lagi bisa mengusahakan tanah koti’ tersebut menjadi tanah hak milik.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2012. Mekar Barisan Muda Wajo - All Rights Reserved
Template Modify by Pelajar Pro
Proudly powered by Blogger