Merayu Redaktur, Menembus Halaman Opini Koran
Adian Saputra (Kompasiana)
Dalam setiap sesi pelatihan
penulisan opini, peserta acap bertanya bagaimana caranya agar tulisan yang
dibuat bisa dimuat media massa, koran, misalnya. Saya berusaha semaksimal mungkin
menjawab sesuai dengan pengalaman menjadi penulis lepas selama beberapa tahun.
Itu masih ditambah dengan hasil ngobrol-ngobrol dengan redaktur opini di tempat
bekerja saya sekarang. Hasil perbincangan itu yang saya sampaikan juga dan kini
saya sarikan untuk Kompasiana.
Redaktur opini surat kabar adalah
orang yang bertanggung jawab dengan halaman yang berisi tulisan penulis lepas.
Ia punya otoritas untuk menerbitkan atau tidak sebuah artikel. Maka itu, kita
harus memastikan bahwa dia sangat tertarik dengan artikel yang kita bikin. Kiat
untuk meyakinkan dia, kita sebut saja “merayu redaktur”. Tujuannya tentu saja:
menembus halaman opini. Kita kepengin artikel yang kita buat dimuat di media
massa, dibaca khalayak, diapresiasi, dan ujungnya mampu menjadi setitik solusi
atas ihwal yang kita tulis.
Pertama, utamakan aktualitas
Opini sebagai salah satu wujud karya jurnalistik juga bersicepat dengan artikel berita seperti straight news atau berita langsung dan soft news seperti feature. Maksudnya, artikel opini yang disukai para redaktur adalah ide yang sesuai dengan berita yang sedang hangat diberitakan. Bagaimana bisa mengetahui berita apa yang sedang hangat, tentu dengan membaca koran yang bersangkutan.
Opini sebagai salah satu wujud karya jurnalistik juga bersicepat dengan artikel berita seperti straight news atau berita langsung dan soft news seperti feature. Maksudnya, artikel opini yang disukai para redaktur adalah ide yang sesuai dengan berita yang sedang hangat diberitakan. Bagaimana bisa mengetahui berita apa yang sedang hangat, tentu dengan membaca koran yang bersangkutan.
Misalnya, kita ingin menulis opini
di sebuah harian lokal. Maka, kita pantau dalam dua-tiga hari, berita apa yang
masuk halaman muka/headline. Kalau dalam dua hari ini berita soal studi banding
DPRD marak diberitakan, itulah tema yang pas untuk ditulis. Kita bisa menulis
soal kritik kepada dewan mengapa mereka acap pelesiran dengan bungkus studi
banding, mengkritik itu dengan alasan dana yang dipakai lebih baik dipakai
untuk belanja pembangunan, dan sebagainya.
Kedua, tawarkan ide segar
Para redaktur acap mengeluh tulisan yang masuk hanya mengulang dari gagasan lama. Tidak ada sama sekali hal baru yang disinggung. Tulisannya mungkin bagus, tetapi intisarinya kurang memikat. Nah, untuk mengatasi hal ini, kita mesti menawarkan sesuatu yang berbeda.
Para redaktur acap mengeluh tulisan yang masuk hanya mengulang dari gagasan lama. Tidak ada sama sekali hal baru yang disinggung. Tulisannya mungkin bagus, tetapi intisarinya kurang memikat. Nah, untuk mengatasi hal ini, kita mesti menawarkan sesuatu yang berbeda.
Dan ini sungguh pekerjaan yang
memeras pikiran. Misalnya, saat orang berbicara soal peringkat korupsi
Indonesia, kita bisa menulis soal “menggagas kurikulum antikorupsi”. Tentu
sebagai sebuah ide baru, itu sangat dinanti redaktur.
Ketiga, buatlah judul yang menarik
Kesan pertama memang harus menggoda. Itu pula yang mesti ada di sebuah tulisan. Untuk menggugah sang redaktur membaca tulisan kita kemudian menurunkannya, tentu judul sangat penting. Pancinglah mata redaktur agar ia senang dan senyum dengan judul tulisan kita. Tak perlu bombastis, asal menarik, dan kena di hati, peluang dimuatnya lebih
besar.
Kesan pertama memang harus menggoda. Itu pula yang mesti ada di sebuah tulisan. Untuk menggugah sang redaktur membaca tulisan kita kemudian menurunkannya, tentu judul sangat penting. Pancinglah mata redaktur agar ia senang dan senyum dengan judul tulisan kita. Tak perlu bombastis, asal menarik, dan kena di hati, peluang dimuatnya lebih
besar.
Membuat judul yang kuat akan
terbantu jika tema yang kita tulis memang dipahami secara utuh. Teknisnya bisa
dibantu dengan membuat judul dengan kata kerja dengan awalan “me”. Kata kerja
di dalam judul serasa memberi makna dan spirit yang lain. Cuma, ini juga tak
mesti. Andai memang ada judul lain yang enak didengar dan pas dengan tema, ya
tak apa dipakai. Judul dengan kata kerja itu, misalnya, “Menggugat Pembangunan
Gedung Anyar DPR”, “Melawan Korupsi dengan Regulasi Terkini”, “Menggagas
Kurikulum Pendidikan Karakter”. Ada pula model-model judul yang membentuk frasa
yang bagus, misalnya “Politikus-Politikus Pengecut”, “Pemberantasan Korupsi di
Tubir Jurang”.
Keempat, sesuaikan naskah dengan
ketentuan
Ada banyak tulisan yang bagus tapi terlalu panjang naskahnya. Redaktur lalu kesulitan menyuntingnya karena terlampau panjang. Maka itu, rayulah redaktur dengan teks naskah yang sesuai dengan ketentuan koran. Di boks koran atau majalah biasanya dicantumkan berapa karakter atau kata maksimal yang diperkenankan dalam sebuah opini yang dikirim
penulis. Nah, ikuti saja aturannya. Jika kurang atau berlebih, boleh saja asal tak banyak.
Yang perlu diingat, redaktur opini itu “bukan orang baik”. Mereka bekerja dalam tekanan tenggat. Saban hari mereka juga banyak menerima naskah. Kalau ada artikel yang terlalu panjang, meski bagus, redaktur akan memilih opini yang jumlah katanya sesuai dengan space di halamannya.
Ada banyak tulisan yang bagus tapi terlalu panjang naskahnya. Redaktur lalu kesulitan menyuntingnya karena terlampau panjang. Maka itu, rayulah redaktur dengan teks naskah yang sesuai dengan ketentuan koran. Di boks koran atau majalah biasanya dicantumkan berapa karakter atau kata maksimal yang diperkenankan dalam sebuah opini yang dikirim
penulis. Nah, ikuti saja aturannya. Jika kurang atau berlebih, boleh saja asal tak banyak.
Yang perlu diingat, redaktur opini itu “bukan orang baik”. Mereka bekerja dalam tekanan tenggat. Saban hari mereka juga banyak menerima naskah. Kalau ada artikel yang terlalu panjang, meski bagus, redaktur akan memilih opini yang jumlah katanya sesuai dengan space di halamannya.
Kelima, konsisten dengan satu tema
Yang mesti dipahami ialah kita sedang menawarkan tulisan kepada redaktur opini yang punya sederet aturan. Bukan seperti kita ingin memposting tulisan di blog. Maka itu, supaya redaktur mudah memahami rekam jejak kita, tulisan yang dikirim punya spesialisasi tertentu.
Misalnya kita mahasiswa ilmu politik. Maka, tulisan yang kita kirim selalu berkaitan dengan politik sesuai dengan tema yang sedang hangat dibicarakan. Ini memudahkan saat redaktur belum bisa kita rayu dalam kesempatan pertama. Kan redaktur bisa menilai, dalam beberapa kali tulisan, kita konsisten bermain dalam tema yang fokus. Redaktur akan mulai memahami bahwa kita memang punya kompetensi di situ. Maka, begitu tulisan keempat atau kelima kita kirim, kemungkinan besar itulah momentum tulisan dimuat.
Keenam, KISS.
Apaan tuh? KISS ini konsep dalam
membuat kalimat. Kalimat dalam artikel haruslah sederhana, mudah dipahami,
ringkas, dan populer. Cara mudah untuk membuat kalimat dengan model itu ialah
memendekkannya, jangan membikinnya panjang. Jika bisa delapan kata dalam satu
kalimat, itu bagus sekali. Jika terpaksa lebih dari itu pun, tak jadi soal.
Maksimal 14 kata. Kalimat yang terlalu panjang membuat pembaca tersengal-sengal
kecapekan. Napasnya habis sebelum narasi usai dibaca.
Untuk itulah, Peter Henshall dan
David Ingram dalam Menjadi Jurnalis membikin formula KISS: keep is short
and simple. Bikin ia pendek dan sederhana. Kalimat yang terlalu panjang disukai
redaktur dan pembaca. Kalimat yang pendek memudahkan pembaca mencerna. Andai
tulisan kita tidak istimewa, tapi ditolong dengan KISS, akan mudah dipahami.
Kata dalam kalimat ibarat pendayung dalam perahu kano. Masing-masing mesti
punya tenaga agar kalimat jelas dimaknai. Jangan sampai ada kalimat yang cuma
jadi beban. Kalau cuma membuat badan kalimat menjadi tambun, buang saja kata
itu. Jangan disayang-sayang. Kata para editor: killing your darling.
0 komentar:
Posting Komentar