Home » »


MASALAH SIMBOL DAN SIMBOLISME
                           DALAM EKSPRESI KEAGAMAAN                            
Oleh Nurcholish Madjid


Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju  cita-cita reformasi   Islam  di  Indonesia,beliau memperkenalkan  dan mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur'an dari Juz 'Amma, yaitu  surat  al-Ma'un  (QS  107).  Surat  itu  sendiri  sudah merupakan bagian dari hafalan baku para santri, khususnya para imam shalat, dan termasuk yang sering dibaca dalam shalat itu. Tetapi,sampai   dengan   tampilnya   Kyai   Dahlan   dengan Muhammadiyahnya,  kaum  muslim  Indonesia seperti tidak pernah
tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan  tidak pula  menyadari  betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal gerakan  kemanusiaan   yang besar dan mendalam seperti Muhammadiyah  dengan amal-amal sosialnya. Seperti kita ketahui,surat al-Ma'un itu terjemahnya, kurang lebih adalah:

Pernahkah engkau lihat (hai Muhammad), orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah untuk orang-orang yang shalat,yaitu mereka yang akan shalat tetapi lalai, yaitu mereka yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan memberi pertolongan.

Jelas sekali firman Allah itu menegaskan bahwa kepalsuan dapat terjadi  dalam  sikap  keagamaan kita jika kita tidak memiliki komitmen  batin  kepada  usaha-usaha,  yang  menurut   istilah sekarang, menegaskan keadilan sosial. Disebutkannya anak yatim dan   orang   miskin,   adalah   karena    mereka    merupakan kelompok-kelompok  sosial yang paling memerlukan usaha bersama untuk memperbaiki nasib mereka. Anak yatim  dan  orang  miskin mewakili  seluruh anggota masyarakat yang tidak beruntung oleh berbagai sebab dan cara.

Penilaian diri  kita  sebagai  pendusta  agama  atau  beragama secara  palsu karena tidak memiliki komitmen sosial yang makin diperburuk oleh tingkah laku lahiriah kita sendiri yang nampak seperti  menjalankan ibadat formal, namun tidak menghayati dan tidak mewujud-nyatakan hikmahnya. Dikatakan semakin diperburuk karena   kepalsuan  kita  dalam  beragama  memperoleh  bungkus
kebajikan berupa  amalan  ibadat  lahiriah,  dan  bungkus  itu dengan  sendirinya  akan  mempunyai  dampak  penipuan.  Karena itulah Allah mengutuk orang  yang  menjalankan  ibadat  formal
serupa  itu  namun  ia  lupa  atau  lalai  akan  ibadat mereka sendiri. Artinya, sementara  kita  mungkin  rajin  menjalankan ibadat-ibadat  formal  seperti  shalat, namun ibadat itu tidak mempengaruhi tingkah  laku  kita  yang  lebih  mendalam,  yang tingkah laku itu bakal membentuk budi pekerti luhur . Sebab
mungkin  kita   sendiri   tidak   merasa,   kita   menjalankan ibadat-ibadat   hanyalah  untuk  memenuhi  kemestian-kemestian sosial kultural semata, seperti kemestian yang ada  pada  pola pergaulan    dalam   suatu   kelompok,   misalnya,   "kelompok orang-orang Islam."  Artinya,  kita  melakukan  ibadat karena
menghayati  bahwa  shalat  adalah  perintah  Allah  lalu tidak menghayati apa makna shalat itu yang lebih mendalam dan  luas.
Jadi  sesungguhnya  kita  menjalankan ibadat itu karena pamrih atau riya', sekurang-kurangnya  mungkin  sekali  kita  sekedar pamrih kepada sesama anggota kelompok Islam. Indikasinya ialah
keseganan untuk  berkorban  guna  memberi  pertolongan  kepada orang yang perlu, biarpun sedikit.

AGAMA DAN AKHLAQ

Surat al-Ma'un memperingatkan kita bahwa beragama dengan tulus tidaklah  cukup  hanya  dengan  mengerjakan  segi-segi  formal keagamaan  seperti  shalat,puasa,haji, dll. Keagamaan yang sejati menuntut adanya wujud nyata konsekuensi  ibadat,  yaitu budi  pekerti  yang  luhur,  yang  dibidikkan oleh ibadat itu.Sebuah Hadits yang amat terkenal mengisyaratkan  bahwa  tujuan tugas  suci  atau  risalah  dibangkitkannya Nabi s.a.w. adalah untuk menyempurnakan  berbagai  keluhuran  budi. Sejalan
dengan  ini  Nabi  juga  menggambarkan  bahwa  diantara  semua kualitas manusia, tidak ada yang timbangan  atau  bobot  nilai kebaikannya  lebih  erat daripada budi pekerti luhur. Lalu
beliau gambarkan bahwa yang paling banyak menyebabkan  manusia  masuk surga ialah taqwa kepada Allah dan keluhuran budi. Penegasan-penegasan  Nabi itu merupakan kelanjutan dari ajaran
al-Qur'an tentang apa yang dinamakan nilai kebajikan  (al-birr atau 'amal shalih). Allah swt.menegaskan "Kamu sekalian tidak akan memperoleh kebajikan sebelum  kamu  mendermakan  sebagian dari  (harta)  yang  kamu cintai." Dan penegasan-Nya lagi, yang lebih terinci:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan mukamuke timur dan ke barat.Tetapi kebajikan ialah (jika) orang yang beriman kepada Allah, Hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab suci dan para nabi; dan orang yang mendermakan hartanya, betapapun cinta orang itu kepada harta tersebut. Untuk kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang terlantar diperjalanan, peminta-minta, dan untuk membebaskan para budak; dan orang yang menepati janji jika membuat janji, serta mereka yang tabah dalam kesulitan,kesusahan dan masa perang. Mereka itulah orang-orang benar (tulus), dan mereka itulah orang-orang yang berbakti (bertaqwa).

Dalam kaitan itu  menarik  sekali  memperhatikan  komentar  A. Yusuf Ali atas firman yang amat penting ini. Dikatakannya:

Seakan untuk menekankan lagi peringatan melawan formalisme yang mematikan, kita diberi gambaran yang indah tentang orang yang salih dan takut kepada Tuhan.Orang itu harus mentaati aturan-aturan yang membawakebaikan, tapi ia harus memusatkan pandangannya kepada cinta Tuhan dan cinta sesama manusia. Kita diberi empat pokok: (1) iman kita harus sejati dan tulus; (2) kita harus memperlihatkannya dalam tindakan-tindakan kebaikan kepada sesama kita; (3) kita harus menjadi    warga masyarakat yang baik, yang mendukung organisasi-organisasi sosial; dan (4) jiwa pribadi kita sendiri harus teguh dan tidak goyah dalam segala keadaan. Keempat pokok itu saling berkaitan, tapi masih dapat dipandang secara terpisah.
   
Iman bukanlah semata-mata perkara ucapan. Kita harus menyadari kehadiran Tuhan dan kebaikan-Nya. Jika kita sadari itu, hal-hal besar menjadi kecil di depan mata kita segala kepalsuan dan sifat sementara dunia ini akan tidak lagi memperbudak kita, sebab kita melihat Hari Kemudian seolah-olah terjadi sekarang ini. Kita juga melihat karya Ilahi dalam alam ciptaan-Nya, dan ajaran-ajaran-Nya yang tidak lagi berada jauh dari kita, melainkan datang dalam pengalaman kita sendiri.
   
    Tindakan-tindakan derma yang praktis mempunyai nilai hanya jika keluar dari rasa cinta dan tidak dari motif-motif yang lain. Dalam hal ini, juga, kewajiban kita dapat berbentuk berbagai macam, berujud jenjang yang wajar; sanak keluarga kita, anak-anak yatim (termasuk siapa saja yang tidak punya topangan hidup atau bantuan); orang yang benar-benar memerlukan pertolongan tetapi tidak pernah meminta (kewajiban kita menemukan mereka itu), dan mereka didahulukan sebelum orang yang meminta, dan memang berhak untuk meminta, yakni, bukan sekedar pengemis yang malas tetapi orang yang memerlukan bantuan kita dalam bentuk tertentu (kewajiban kita untuk tanggap kepada mereka); dan budak-budak (kita harus melakukan apa saja yang dapat kita lakukan untuk memberi atau membeli kemerdekaan mereka). Perbudakan mengandung berbagai bentuk yang tersembunyi dan berbahaya dan semuanya tercakup di situ.
   
 Dalam menafsir firman itu, Muhammad Asad menegaskan bahwa al-Qur'an menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Disebutnya masalah menghadapkan wajah ke arah ini atau itu dalam sembahyang adalah kelanjutan dari pembahasan tentang kiblat dalam urutan ayat-ayat sebelumnya.Dan memang menghadapkan muka ke arah tertentu dalam ibadat hanyalah bentuk formal, lahiriah semata dari sebuah amalan, sehingga tidak seharusnya dipandang dalam kerangka sebagai tujuan dalam dirinya sendiri sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan.

Jadi, agama kita mengajarkan bahwa  formalitas  ritual  belaka tidaklah  cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita
menuju  kebahagiaan,  sebelum  kita  mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Justru sikap-sikap membatasi  diri  hanya kepada   hal-hal  ritualistik  dan  formal  akan  sama  dengan peniadaan tujuan agama yang  hakiki.  Prinsip  ini  dipertegas oleh Nabi saw dalam sebuah Hadits mengenai dua wanita:

    Abu Hurayrah meriwayatkan prinsip penting yang diajarkan Nabi ini, yang memberi peringatan keras kepada orang yang suka pamer kebajikan palsu dan kemunafikan dalam menekuni segi-segi forma keagamaan. Seseorang yang datang kepada Nabi dan menceritakan tentang seorang wanita yang rajin mengerjakan shalat, puasa dan zakat, tetapi lidahnya selalu menyakiti sanak keluarganya. Maka Nabi saw bersabda, "Tempat dia di neraka!." Kemudian orang itu menceritakan tentang seorang wanita yang kedengarannya jelek, karena ia melalaikan shalat dan puasa, namun ia rajin memberi pertolongan kepada orang-orang sengsara, dan tidak pernah menyakiti hati sanak keluarganya. Maka Rasul saw bersabda, "Tempat dia di surga."

Seorang tokoh Islam Indonesia,  Prof.  A.  Mukti  Ali,  pernah mengatakan  bahwa  orang-orang  Muslim  banyak yang lebih peka kepada  masalah-masalah  keagamaan  daripada   masalah-masalah
sosial.  Yang  dimaksud  ialah,  banyak orang Islam yang lebih cepat bereaksi kepada gejala-gejala  yang  dinilai  menyimpang dari  ketentuan  lahiriah keagamaan, seperti soal pakaian atau  tingkah "tidak sopan" dan  "tidak  bermoral"  tertentu,  namun reaksi   kepada  masalah-masalah  kepincangan  sosial  seperti kemiskinan dan kezaliman masih  lemah.  Maka  Hadits  di  atas
dapat  dirujuk  sebagai  sebuah  ilustrasi  tentang  apa  yang dikatakan Prof. Mukti Ali itu, dan di situ nampak  bahwa  Nabi saw  justru  lebih peka pada masalah-masalah sosial yang lebih substantif daripada masalah-masalah  formal  keagamaan  semata yang simbolik.

TAUHID ESENSI, BUKAN TAUHID NAMA

Dzikr atau ingat kepada Tuhan adalah salah satu  bentuk  ritus yang  amat penting dalam agama Islam. Sebetulnya dzikir adalah lebih banyak sikap hati (dzat al-shadr), yang secara  langsung
atau  tidak,  dapat  dipahami  dari berbagai sumber suci dalam al-Qur'an dan Sunnah. Namun dzikr juga dapat melahirkan gejala formal,  seperti  pengucapan  atau  pembacaan  kata-kata  atau
lafal-lafal tertentu dari perbendaharaan keagamaan,  khususnya kata-kata  atau  lafal  yang  berkaitan  dengan  Tuhan seperti "Allah" dan "La  ilaha  illa  'l-lah".  Selain  lafal  "Allah"sebagai  lafal  keagungan  (lafzh al-jalalah) karena merupakan nama Wujud Maha Tinggi yang utama  juga  terdapat  lafal-lafal
lain  yang  merupakan nama-nama Wujud Maha Tinggi itu, seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Ghaffar, al-Razzaq, dll,  dari  antara nama-nama terbaik (al-asma al-husna) Tuhan.

Dalam  Kitab Suci al-Qur'an terdapat sebuah firman yang isinya petunjuk kepada Nabi saw menghadapi orang-orang  musyrik  Arab yang menolak adanya nama lain, selain nama "Allah" untuk Wujud Maha Tinggi.  Sebab  pada  saat  itu  al-Qur'an  mulai  banyak menggunakan  nama  al-Rahman,  yang  selama  ini tidak dikenal orang Arab yang selama ini menggunakan  nama  Allah  (al-Lah).Karena salah paham, kaum musyrik Arab mengira bahwa Nabi tidak konsisten dalam mengajarkan paham  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.Dalam  pandangan mereka yang keliru itu, jika Dzat Yang Mutlak itu mempunyai nama lain, berarti Ia tidak Maha Esa,  melainkan berbilang  sebanyak  nama yang digunakan. Maka turunlah firman Allah, memberi petunjuk kepada Nabi dalam menghadapi mereka:

 "Katakan (hai Muhammad), "Serulah olehmu sekalian (nama) Allah atau serulah olehmu sekalian (nama) al-Rahman, nama manapun yang kamu serukan, maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik". Dan janganlah engkau (Muhammad) mengeraskan shalatmu, jangan pula kau lirihkan, dan carilah jalan tengah antara keduanya."
   

Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia  dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak  mereka  sesuai  dengan  nama-nama-Nya  yang paling  baik  (al-asma  al-husna).  Firman  itu juga merupakan sanggahan  terhadap  kaum  Jahiliah  yang   mengingkari   nama "al-Rahman", selain nama "Allah". Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir  klasik  menuturkan  adanyaHadits  dari  Ibn  Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman".Ketika  Abu  Jahal,  tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman,  mendengar tentang ucapan Nabi dalam  sujud  itu, ia berkata: "Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain  lagi.



"  Ada juga  penuturan  bahwa  ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl  al-Kitab  pernah  mengatakan   kepada   beliau,   "Engkau (Muhammad)  jarang  menyebut  nama  al-Rahman,  padahal  Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat."

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua  nama  itu  sama  saja,  dan  keduanya  menunjuk  kepada Hakikat, Dzat atau Wujud  yang  satu  dan  sama.  Zamakhsyari, al-Baidlawi  dan  al-Nasafi  menegaskan  bahwa kata ganti nama "Dia" dalam kalimat  "maka  bagi  Dia  adalah  nama-nama  yang terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau "al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi.  Jadi,  Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah" dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya "Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".

Jadi  yang  bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama.  Karena itu   al-Baidlawi   menegaskan  bahwa  pahan  Tauhid  bukanlah
ditujukan kepada nama, melainkan kepada  esensi.  Maka  Tauhid yang  benar  ialah  "Tawhid  al-Dzat"  bukan  "Tawhid  al-Ism"(Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).

Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan  dengan jelas  sekali  oleh  Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan
Ahl  al-Sunnah  maupun  Syi'ah.  Dalam  sebuah  penuturan,  ia menjelaskan nama "Allah" dan  bagaimana  menyembah-Nya  secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam:

 "Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah" dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku (ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan.    Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia ..."



Kalau kita  harus  menyembah  Makna  atau  Esensi,  dan  bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja'far  al-Shadiq  itu,  berarti kita  harus  menunjukkan  penyembahan  kita  kepada  Dia  yang menurut  al-Qur'an  memang  tidak  tergambarkan,   dan   tidak sebanding  dengan  apapun.  Berkenaan dengan ini, 'Ali Ibn Abi Thalib ra. mewariskan penjelasan  yang  amat  berharga  kepada kita Dia mengatakan,

 "Allah" artinya "Yang Disembah" (al-Ma'bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya'lahu) dan dicekam (yu'lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.
   
    Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan,
"Allah" maknanya "Yang Disembah" yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya(Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah).

Orang  Arab mengatakan
"Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi'a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatiri. Jadi "al-Lah" ialah Dia yang tertutup dari indera makhluk.

Jadi, menyembah Tuhan sebagai maknanya berarti menyembah Wujud yang  tak  terjangkau dan tak terhingga, yang Hakikatnya tidak dibatasi oleh nama-nama-Nya, betapapun nama-nama itu nama-nama utama (al-Asma al-Husna). Sebab, betapapun, seperti ditegaskan oleh Ja'far al-Shadiq yang dikutip di atas, antara nama  (ism) dan  yang  dinamakan  (musamma) tidak identik. Jadi, jangankan sekedar  simbol   dan   ritus,   Nama   Tuhan   pun,   menurut Hadits-hadits  di  atas,  tidak  benar  untuk dijadikan tujuan penyembahan, sambil melupakan Makna dan Esensi di  balik  Nama itu.  Maka  sebenarnya  yang  boleh  dikatakan  "ideal"  dalam kehidupan  keagamaan  ialah  jika  ada keseimbangan   antara simbolisasi dan substansiasi. Artinya, jika terdapat kewajaran dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga  agama memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap ada  kesadaran  bahwa  suatu  simbol  hanya  mempunyai   nilai instrumental,  dan  tidak  intrinsik (dalam arti tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan  menuju  kepada  suatu nilai yang tinggi).

Bersamaan  dengan  penggunaan  simbol-simbol diperlukan adanya kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif,  yang  justru mempunyai  nilai  intrinsik. Justru segi ini harus ditumbuhkan lebih  kuat  dalam  masyarakat.  Agama  tidak  mungkin   tanpa simbolisasi,  namun  simbol  tanpa makna adalah absurd, muspra dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan  diri  kepada Allah  dan  perbuatan  baik kepada sesama manusia, sebagaimana keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam makna    taslim    (ucapan,'assalamu'alaikum    ...")     pada penutupannya.



Jalaluddin Rumi berkata: "Saya mencari Tuhan di dalam Vihara; tetapi saya tidak menemukan Tuhan di dalam Vihara.

Saya mencari Tuhan di dalam Gereja; tetapi saya tidak menemukan Tuhan di dalam Gereja.

Saya mencari Tuhan di dalam Masjid; tetapi saya tidak menemukan Tuhan di dalam Masjid.

Kemudian saya menemukan Tuhan di dalam hati saya sendiri; karena Tuhan maha mengetahui dan maha dekat dengan hamba-hambanya!"
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2012. Mekar Barisan Muda Wajo - All Rights Reserved
Template Modify by Pelajar Pro
Proudly powered by Blogger