Menanti
Ending Pendidikan
Karakter di Sekolah
Symsuriadi Syam
Alumni S2 Manajemen Pendidikan UNM Makassar.
Syamsuriadi Syam: Bukannya pesimis
terhadap kebijakan pemerintah untuk menerapkan pendidikan karakter di
sekolah-sekolah, seperti yang lagi digiatkan sekarang ini. Hanya saja, bila
mencermati beberapa program pendidikan sejenis yang pernah diterapkan dalam
lingkungan pendidikan kita sebelumnya. Ada kekhawatiran kalau pendidikan
karakter ini akan bernasib sama dengan pendahulunya, berhenti di tengah jalan
setelah menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Kekhawatiran ini bukannya tanpa dasar,
lihatlah misalnya sejak di saat masih jaman orde baru, begitu gencarnya program
pengamalan nilai-nilai Pancasila. Setiap penerimaan
siswa dan mahasiswa baru, selalu diawali dengan kegiatan penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kemudian sekitar akhir tahun 90-an
muncul program sejenis, berupa pengitegrasian muatan Iman dan Taqwa (Imtaq)
dalam kurikulum setiap mata pelajaran. Dan sekitar
tahun 2003, muncul kembali konsep baru yaitu integrasi kecakapan hidup (life
skill). Namun semuanya tidak ada yang berlanjut dan kelihatan hasilnya,
sampai munculnya kembali gagasan tentang pendidikan karakter.
Strateginya Tidak Tepat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
konsep pendidikan yang sifatnya menyentuh sisi otak kanan manusia ini sehingga
penerapannya tidak efektif di sekolah dan diklaim gagal meletakkan dasar-dasar
karakter positif secara signifikan kepada generasi bangsa kita.
Pertama;
selama ini dari beberapa program pendidikan karakter dan sejenisnya yang pernah
ada di sekolah, semuanya masih cenderung bersifat teoritis karena dalam
implementasinya masih lebih dominan dilaksanakan di dalam kelas. Penilaiannya
juga masih mengedepankan penilaian secara kognitif (pemahaman) sehingga tidak
mengherankan bila banyak siswa yang memeroleh nilai tinggi dalam penilaian
karakternya, namun pengaplikasiannya nihil dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Disinilah mungkin kekeliruannya, padahal
pengalaman empiris menunjukkan bahwa karakter seseorang dapat terbentuk, di
antaranya melalui pembiasaan dan kondisi lingkungannya. Dengan kata lain yang
dibutuhkan sebetulnya dalam pendidikan karakter di sekolah yaitu adanya semacam
penciptaan suasana di sekolah tersebut yang mengkondisikan siswa untuk terbiasa
pada karakter tertentu. Misalnya agar siswa memiliki karakter hidup tertib dan
memahami eksistensi orang lain. Secara sederhana dapat saja dimulai dengan
membudayakan di kalangan siswa untuk memarkir kendaraan dengan tertib dan tidak
menghalangi kendaraan siswa lainnya. Selanjutnya, demi efektifnya penerapan
budaya-budaya tersebut, inilah yang diawasi oleh guru dan diberikan penilaian
serta sanksi bagi yang melanggarnya.
Kedua; selama ini
juga, bila terkait persoalan yang bersentuhan pembentukan karakter moral dan
sejenisnya, sepertinya sekolah selalu di tempatkan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab untuk itu. Padahal siswa yang note bene masih dalam
masa pembentukan karakter lebih banyak waktunya bersama keluarga dan masyarakat
yang berarti pula pembentukan karakternya lebih dominan dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga dan masyarakat. Terlebih lagi karena yang dilihat di
lingkungan keluarga dan masyarakat adalah nyata dan dialami langsung sehingga
lebih kuat pengaruhnya.
Sebagai contohnya, di sekolah diajarkan
tentang hidup beretika dan mematuhi norma-norma yang berlaku di tengah
masyarakat. Tetapi sepulang dari sekolah yang dilihat dan dialaminya sendiri
adalah perilaku yang bertolak belakang dengan yang diajarkan di sekolah.
Tragisnya lagi, justeru terkadang yang berkontribusi terhadap pelanggaran etika
dan moral tersebut adalah orang tua siswa sendiri. Coba kita cermati fenomena
di masyarakat kita akhir-akhir ini yang lagi gandrung-gandrungnya menghadirkan
pertunjukan musik elekton dengan penyanyi yang doyan tampil seronok
(buka-bukaan), di saat ada hajatan perkawinan dan sebagianya, bahkan kampanye
Pemilu. Dengan kondisi ini apakah kira-kira balance jika pendidikan
karakter yang dilaksanakan di sekolah, apalagi hanya secara teoritis dan
waktunya terbatas. Dapat membendung kondisi nyata yang dialami oleh siswa di
lingkungan keluarganya dan masyarakat?
Ketiga;
salah satu kelemahan dari strategi penerapan pendidikan berbasis pembentukan
karakter selama ini juga yaitu karena selalu ingin diintegrasikan dengan
berbagai mata pelajaran lain. Tujuannya mungkin baik yaitu agar tumbuh karakter
positif di kalangan siswa dalam berbagai komponen. Sebetulnya tidak perlu
serumit itu karena selain menambah beban guru, juga tidak sedikit di antaranya
yang melaksanakannya secara formalitas saja. Lagipula kalau dilaksanakan secara
terintegrasi seperti itu, sama saja kalau kita ingin membentuk karakter siswa
secara parsial dan terkotak-kotak, padahal sebagaimana dipahami secara umum
bahwa karakter dalam diri seseorang itu sifatnya universal. Maksudnya kalau
dalam diri seseorang memang telah tertanam sebuah karakter, apapun yang
dilakukannya akan selalu terbawa-bawa karakter tersebut.
Terkait dengan pendidikan karakter ini,
tidak ada salahnya untuk melimpahkan wewenang ini kepada guru mata pelajaran
yang relevan yaitu guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Pendidikan Agama dan
Bimbingan Konseling (BK). Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk
memberdayakan guru mata pelajaran tersebut adalah merancang kurikulum khusus
yang bersifat aplikatif (praktek langsung) dan proses pembelajarannya tidak
lagi dominan di kelas dalam bentuk teori. Demikian pula dari sisi penilaiannya,
tidak lagi sebatas penilaian pada ujian tertulis, tetapi merupakan akumulasi
penilaian terhadap perilaku siswa selama berada dalam lingkungan sekolah.
Mungkin
ada yang menilai bahwa strategi ini sulit terlaksana karena guru kesulitan
memantau dan mengawasi seluruh siswa yang jumlahnya tidak sedikit, terutama
pada sekolah-sekolah besar. Sedangkan jumlah guru mata pelajaran PKn,
Pendidikan Agama dan guru BK, jumlahnya terbatas? Disinilah memang yang perlu
menjadi perhatian dan urgen dipikirkan formatnya bersama-sama kalau kita tidak
ingin pendidikan karakter yang digiatkan di sekolah sekarang ini akan bias
hasilnya dan selanjutnya bernasib sama dengan pendahulunya. Salah satunya
mungkin yang perlu terpikir adalah menyiapkan dan mencetak lebih banyak
guru-guru mata pelajaran yang relevan dengan pendidikan karakter, moral dan sejenisnya.
0 komentar:
Posting Komentar